Permainan Masa Lalu Si Pemalu

kids.jpg

Sore itu, seperti biasa, si sulung pulang dengan penampilan dan aroma “nano-nano”: perpaduan ganteng dan kucel, bau tubuh yang aneh sisa wangi pelembut pakaian bercampur keringat, sorot mata antara lelah, ngantuk dan gembira. Dan seperti biasa pula, sesudah membersihkan diri, si sulung yang penampilannya sudah kembali 1 rasa –ganteng, bersih, dan wangi– itu santai menikmati kudapan sorenya dan segelas minuman segar sebagai pelengkap.

Sambil menikmati kudapan –yang sore itu berupa tahu Sumedang kesukaannya– si sulung bercerita, “Mi, aku sama teman-teman tadi di sekolah main pero ta kempel. Sama bu guru juga.” Saya terdiam sejenak. “Pero ta kempel?” tanya saya kemudian. “Iya, kata bu guru itu permainan tradisional di kampungnya,” kata sulung saya sambil menggigit tahu Sumedangnya yang masih menul-menul, hangat.

tahu sumedang wikipedia

Si sulung berkisah tentang pengalamannya bermain permainan tradisional di sekolahnya sambil menikmati kehangatan tahu Sumedang.

Bu guru yang dimaksud si sulung berasal dari daerah Kroman, Gresik. Dan permainan pero ta kempel ini merupakan permainan khas daerah tersebut. Sebagai seorang pendatang (di Gresik), saya kurang begitu akrab dengan nama permainan itu. Karenanya, saya mendengarkan dengan seksama pengalaman si sulung di sekolah tadi.

Jadi, pero ta kempel adalah permainan yang melibatkan sejumlah anak. Pertama, kita membuat lingkaran yang lumayan besar yang kira-kira dapat menampung semua anak yang ikut bermain. Kemudian, kita buat garis panjang untuk anak yang jadi pemain. Selanjutnya, anak yang jadi pemain tersebut akan berlari menuju lingkaran besr tersebut sambil meneriakkan “pero!” atau “kempel!”

Kalau si anak memilih pero, itu berarti semua anak yang ada di dalam lingkaran harus keluar dari lingkaran dan anak yang jadi masuk di dalam dan berusaha menyentuh anak yang ada di luar lingkaran. Siapa yang kena, dia yang jadi. Pun sebaliknya, kalau kempel, berarti semua peserta permainan harus tetap berada di lingkaran dan pemain berusaha menyentuh salah satu pemain yang ada di dalam. Begitu kira-kira aturan permainannya.

Saya mengangguk-angguk tanda mengerti. Masih sambil mengudap, si sulung mengambil buku tematik dari tasnya dan menunjukkan ke saya. “Tadi kita main permainan tradisional, karena kita lagi belajar tentang itu. Jadi kita tahu macam-macam permainan tradisional, nggak cuma main tablet.” Saya tersenyum sambil membuka-buka buku tematik si sulung. “Lha Ummi sendiri dulu pas kecil paling suka main apa?” tanyanya kemudian, sambil menyeruput es teh manisnya. Slurp… segar!

buku tematik-tradisional

Tema 5 yang sedang dipelajari si sulung fokus pada olahraga dan permainan tradisional. Saya jadi teringat permainan tradisional masa kecil saya dulu.

Hmm… saya bingung permainan tradisional masa kecil mana yang paling saya suka. Boleh dibilang saya suka semua permainan, kecuali satu: LOMPAT TALI. Big no no deh sama lompat tali. Entah kenapa, saya tidak pernah bisa melompati tali sepinggang ke atas. Saya selalu minta dispensasi untuk tidak ikut lompat, melainkan “bergaya kupu-kupu” kalau talinya sudah di atas pinggang. Tak heran jika setiap kali bermain lompat tali saya tidak pernah diperhitungkan. Sekadar penggembira alias “pupuk bawang.” Itu sebabnya sebisa mungkin saya tidak terlibat dalam permainan lompat tali.

Ah, hampir lupa. Ada satu lagi selain lompat tali: BEKEL. Permainan ini juga sangat tidak saya sukai. Bermain bekel sungguh menyiksa saya. Saya adalah pupuk bawang sejati untuk permainan ini (oh, no!). Entah apa masalahnya, saya selalu gagal mengambil bola dan biji bekel sekaligus, apalagi harus mengubah posisi biji bekel. Hmm… tampaknya motorik halus saya kurang terasah dan saya kurang tangkas mengkoordinasikan syaraf mata dan tangan saya. *sigh*

Intinya, saya kurang suka permainan yang menuntut ketangkasan, seperti lompat tali atau bekel tadi. Saya lebih suka permainan massal yang disertai lirik-lirik. Kok? Jadi begini ceritanya. Ketika kecil, saya cenderung pemalu. Saya sedikit berbicara di depan kawan-kawan (padahal kalau di rumah lumayan cerewet). Namun saya juga ingin bermain bersama mereka. Lepas Asar, saya mendengar kerumunan kawan sekompleks siap bermain di depan rumah si A. Usai mengaji ba’da Maghrib, mereka juga sudah berkerumun di depan rumah si B. Saya juga mau, dong, bergabung bersama mereka. Tapi, mmm… kalau bisa jangan lompat tali atau bekel, ya…

Mungkin karena sifat pemalu inilah –yang belakangan malah malu-maluin– saya lebih suka permainan yang tidak one on one. Permainan yang tidak melibatkan skill satu per satu pemainnya, seperti lompat tali atau bekel. Saya lebih suka permainan massal yang tidak menonjolkan kemampuan individunya. Permainan just for fun-lah istilahnya. Permainan sorak-sorak nan hepi-hepi gitu, deh, seperti Sepiring Dua Piring, Saputangan Dikibaskan, dan Slebor-Slebor. Permainan tradisional seperti ini, kan, tidak menuntut kemampuan atau skill pemainnya. Cukup duduk atau berdiri melingkar, berdendang bersama (meski fals), sambil sedikit kejar-kejaran. Untuk si pemalu seperti saya, permainan ini sangat tepat, karena tidak akan ada yang tampak superior atau paling jago di sini. Semua sama: sama-sama berdendang, sama-sama hepi. Selesai, bubar, pulang. Bahagia.

Buat yang belum tahu –atau sudah tahu tapi lupa-lupa ingat– seperti apa permainan masa kecil favorit saya, yuk simak ringkasan berikut.

Sepiring Dua Piring

Permainan ini cukup unik menurut saya. Gampang banget mainnya, dan bikin pemainnya tertawa-tawa senang. Saya sampai senyum-senyum sendiri mengingat serunya permainan ini.

Cara bermainnya sederhana. Beberapa anak berkumpul, duduk melingkar. Salah satu tangan dibuka (versi lain dikepalkan), kemudian salah satu pemain (ada juga yang semua pemain) mendendangkan syair. Begini bunyi syair yang populer di kompleks saya saat kecil: Sepiring dua piring, semangkok dua mangkok. Apa namanya, cobalah terka dengan benar wahai saudara…

Eitt… lirik ini fleksibel, lho. Ada yang sama seperti yang saya tulis di atas, namun di tempat lain bisa jadi beda versi. Misal, di tempat saya semangkok dua mangkok, di tempat lain seperak dua perak. Oke, lanjuut…

Seiring syair dilantukan, seorang pemain mengibaskan tangannya ke masing-masing tangan. Yang terakhir tersentuh harus menyebut permintaannya. Misalnya, “minta patung.” Maka lirik berikutnya berbunyi, Mbak (Mas) ini minta huruf, P lama-lama menjadi patung. Kemudian yang terakhir kena kibasan, harus menjadi patung dan keluar dari arena bermain.

Supaya lebih jelasnya, saya sempat browsing di youtube dan menemukan Sepiring Dua Piring versi daerah Cilegon. Agak berbeda dengan versi yang biasa saya mainkan saat saya masih kecil, tapi tak ada salahnya ditengok.

 

Saputangan Dikibaskan

Permainan ini juga asyik dan seru. Gampang pula mainnya. Caranya hampir sama dengan Sepiring Dua Piring, pemainnya duduk melingkar dan salah satunya mengibaskan saputangan. Setiap pemain yang terkena kibasan saputangan di akhir lirik harus mengejar si pengibas saputangan. Mudah, bukan?

saputangan.jpg

Saputangan ortu kerap dipakai untuk permainan saputangan dikibaskan. Gambar diambil dari sini.

Oh iya, ini liriknya: Saputangan dikibaskan, terbuat dari kain. Bagusnya bukan main. Siapa belum punya harus mengejar saya (di kompleks saya sering ditambahi liriknya dengan di mana kuletakkan, di bawah meja).

Slebor-slebor

Ada sejumlah versi nama untuk permainan ini. Di daerah saya, di Surabaya, namanya Slebor-slebor. Di tempat lain, ada yang menyebutnya permainan Ular Naga Panjangnya. Pada prinsipnya sama, kok. Cara bermainnya, dua anak membentuk terowongan, beberapa anak lainnya berjalan menyusuri terowongan itu hingga lirik selesai dilantunkan. Yang terakhir terperangkap berbaris di belakang dua anak tadi (bisa di sisi kanan atau kiri).

Begini bunyi liriknya: Slebor-slebor, mondar-mandir dahar bubur, kepanasan mundar-mundur. Sleeee… borr! (lalu menangkap salah satu anak). Selesai menangkap, kembali lagu dilantunkan dan seorang anak ditangkap kembali. Begitu seterusnya hingga seluruh pemain tertangkap. Jadi, nantinya ada sejumlah anak di sisi kiri dan sejumlah anak di sisi kanan. Setelah itu kedua tim saling mengejar lawan dan mempertahankan timnya, jangan sampai rangkaiannya terlepas. Kurang lebih seperti itulah.

Untuk lebih jelasnya, saya sempat searching di youtube dan mendapatkan link permainan ini, namun dalam versi Ular Naga Panjangnya.

“Oh, jadi itu permainan masa kecil kesukaan ummi. Yayaya, bagus, bagus…” puji si sulung yang tanpa sadar sudah menghabiskan lima potong tahu Sumedang. Sambil menyeruput es tehnya dia minta saya mengajarkan salah satu permainan. Maka, sore itu, saya, si sulung, dan si tengah, bermain Saputangan Dikibaskan dengan penuh keceriaan dan gelak tawa. Ah, bahagianya…

 

GA-mama calvin.jpg

(Tulisan ini diikutkan dalam Giveaway Permainan Masa Kecil yang diselenggarakan oleh Mama Calvin dan Bunda Salfa).  

 

14 thoughts on “Permainan Masa Lalu Si Pemalu

    • Iya mak Titis, bener banget. selain yang saya sebutin di cerita, ada petak umpet, gobak sodor, benteng2an, gundu, dan lain-lain, dan sebagainya, hehe… Thanks udah nyempetin baca ya, Mak…

      Like

  1. wah aku justru suka permainan yg nunjukin skill kayak lompat tali ama bekel itu mba :D.. trs dulu ada juga permainan yg ngelibatin otak, kayak pancasila ada lima, kan hrs cepet tuh jawab pertanyaannya di kertas, ato yg itung2an dan strategi seperti monopoli :D.. seru kalo udh main begitu … ga bikin mata lelah juga kyk kalo kelamaan main gadget ;p

    Liked by 1 person

    • wah, hebat ih bisa main lompat tali sama bekel. saya mah payah hehehe… kalo monopoli saya juga suka. apalagi kalo udah dapet Dana Umum atau Kesempatan, waah… makin semangat mainnya hahaha

      Like

    • iya, mak turis. tapi dulu pun sebenernya udah ada cikal bakal gadget, ya… kaya gamewatch, nintendo, atari, tetris. pas lagi booming itu saya juga ikutan, hihihi… *ngaku*

      Like

Leave a comment